Menjelang pilkada sering terjadi lobi-lobi politik dari para kandidat kepada partai-partai politik, terutama partai politik yang mempunyai suara signifikan pada pemilu legislatif dan pemilu presiden kemarin. Lobi-lobi politik tersebut dilakukan untuk mendapatkan rekomendasi dan dicalonkan dari partai. Meskipun secara undang-undang pencalonan kepala daerah bisa dilakukan dengan jalan independen, namun tidak dapat dipungkiri bahwa partai politik merupakan salah satu penentu calon akan dipilih masyarakat.
Untuk mendapatkan rekomendasi dari partai politik tertentu, seringkali calon mengandalkan jaringan di internal partai, baik di tingkat daerah maupun di pusat. Atau menggunakan jasa para “makelar” politik yang banyak bergentayangan menjelang pilkada. Para “makelar” yang kebanyakan merupakan oknum partai politik bahkan pengurus partai itu bermunculan untuk memanfaatkan statusnya atau pengaruhnya di partai, sehingga menarik perhatian calon.
Dari beberapa sumber menyebutkan para “makelar” politik mengambil sasaran kandidat dari kalangan Profesional maupun birokrat, karena pemahaman politiknya yang lemah sehingga mudah dimanfaatkan serta didukung kemauan dan materi yang besar. Untuk itu, seringkali para calon tidak segan-segan mengeluarkan modal fantastis untuk membiayai pergerakan para makelar politik tersebut.
Untuk menjadi makelar politik, kerja yang dilakukan harus benar-benar terukur. Dan hall paling mutlak yang harus dimiliki adalah jaringan internal partai yang kuat, mulai daerah hingga pusat. “Lobi-lobi di tingkat pusat merupakan hal utama yang harus diprioritaskan karena keputusan akhir berada di pimpinan pusat” ujar Ismed Rama yang pernah menjadi “makelar” politik (surabaya pagi; 29-09-2009). Disinggung mengenai tingkat keberhasilan praktek tersebut, Ismed mengatakan berkisar 20-30 persen. Namun ada juga yang sampai berhasil.
Menjelang Pilwali Kota Surabaya 2010, ditengarai banyak “makelar” politik yang bermunculan melobi bakal calon walikota maupun calon wakil walikota. Mengingat kota surabaya yang merupakan kota besar kedua di Indonesia maka kemungkinan akan banyak yang mencoba peruntungan dengan mencoba mencalonkan diri menjadi walikota ataupun wakil walikota. Mereka menjajikan calon kandidat mendapatkan rekomendasi dari partai yang diinginkan. Tentu saja, para “makelar” ini meminta imbalan uang Rp. 500 juta hingga Rp. 1 miliar. hal utama yang ditawarkan adalah kemampuan mereka yang bisa melobi politik ke struktural partai, baik di tingkat daerah hingga pusat.
Pada dasarnya pergerakan para ”makelar” politik ini didasari atas kepentingan pribadi, namun karena kebetulan statusnya sebagai pengurus partai maka nama partai ikut terbawa. Ketua DPC Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Surabaya Musyafak Rouf mengatakan dirinya melihat adanya praktek makelar politik ini. Disinggung mengenai adanya kader PKB yang menjadi “makelar” politik, mantan ketua DPRD Surabaya ini menegaskan sejauh ini belum terlihat di internal partainya ada kader yang menjadi “makelar” politik. “Alhamdulillah di PKB masih steril dari “makelar” politik”. Ujar musyafak(surabaya pagi;29-09-2009).
Hal yang sama juga dikatakan Ketua DPC Partai Demokrat Surabaya Wisnu Wardhana. Sebagai partai yang memenangi pileg dan pilpres kemarin bukan tidak mungkin Partainya menjadi rebutan para calon yang menginginkan rekomendasi dari partai bentukan presiden SBY. “Saya belum melihat ada praktek “makelar” politik di Partai Demokrat, karena mekanisme pencalonannya masih belum dilakukan,”ujarnya. Lebih lanjut Ketua DPRD Surabaya ini mengatakan walikota Surabaya harus diraih kader Demokrat. Apalagi Ketua Pembina Partai Demokrat yang juga Presiden RI memback up siapapun walikota yang diusung partai demkokrat (surabaya pagi; 29-09-2009).
Untuk menjadi Walikota Surabaya paling tidak dibutuhkan dana sekitar Rp. 50 miliar. jika calon hanya menyediakan dana kurang dari itu, maka disinilah para “makelar” politik “bermain” dengan cara mencarikan donatur dengan imbalan proyek jika terpilih nanti. Proyek-proyek itupun sudah di mark up sedemikian rupa untuk bisa mengembalikan dana yang telah habis untuk membiayai “makelar” politik dan kampanye. Hal ini yang pada akhirnya menimbulkan pelaksanaan tender pengadaan barang dan jasa dilakukan dengan cara tidak benar. Serta cenderung asal-asalan dalam mengerjakan suatu proyek dan menjadi lahan korupsi.
Praktek makelar politik merupakan hal yang sudah lama terjadi, dan berkembang terus menerus seiring dengan perkembangan sistem demokrasi di negeri ini. Berawal dari kultur politik pedesaan dan berkembang hingga menjadi seperti sekarang. Dimana seseorang yang mencalonkan diri menjadi kepala desa atau daerah harus menyiapkan modal besar agar bisa dipilih.
Oleh sebab itu, jika ingin pelaksanaan demokrasi di Indonesia berkembang dengan baik, maka para makelar politik ini harus dihilangkan. Ini merupakan tugas untuk partai-partai politik agar menindak tegas para kader yang menjadi “makelar” politik. Serta melakukan penjaringan calon pemimpin yang kompeten, yang bisa mewujudkan keinginan masyarakat luas.