Pada tahun 2010, Kota Surabaya untuk pertama kedua kalinya akan diselenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (pemilihan walikota; pilwali) secara langsung sebagaimana diatur dalam UU No. 32 tahun 2004. Setidaknya 176 daerah otonom akan mengadakan hajatan ini hampir secara serentak di seluruh Indonesia. Hajatan ini banyak mengundang perhatian masyarakat surabaya, meskipun bukan pengalaman yang pertama, tetapi juga bahwa peluang untuk mengubah struktur kekuasaan menjadi demikian dekat. Besar harapan masyarakat surabaya, pemilihan walikota (pilwali) 2010 mendatang membawa perubahan yang mendasar bagi mereka, karena banyak persoalan perkotaan yang hingga kini belum mampu diselesaikan.
Belajar dari pengalaman Pemilihan Umum 2004 serta 2009 yang lalu, dan dua kali Pemilihan Presiden Langsung ternyata banyak hal yang muncul menjadi variabel baru bagi kemenangan seorang calon. Ada demonstration-effects yang mengakibatkan perubahan dalam sikap dan kebiasaan masyarakat Indonesia. Kecenderungan perubahan pola berpikir pada hal yang lebih maju juga semakin jelas terlihat. Hal ini sangat terkait dengan ‘besarnya-harapan-perubahan’ yang terutama sekali disebabkan oleh kampanye media-massa seperti surat-kabar, radio, dan pada akhirnya adalah televisi. Demonstration-effects inilah yang pastinya juga akan terjadi menjelang pemilihan walikota surabaya. Harus cukup cermat kita melihat bahwa ada peran besar lembaga-lembaga polling baik nasional maupun internasional untuk pemenangan partai-partai tertentu dan dalam pemilu baik pemilu legislatif, pilpres maupun pilkada, tak terkecuali pemilihan walikota surabaya 2010 mendatang. Ada usaha yang secara intens disuntikkan pada kesadaran masyarakat untuk membentuk makna tertentu dalam kesadarannya dan menjadi sebuah produk politik. Seperti layaknya sebuah iklan produk sabun atau pasta gigi, dsb. Sebenarnya produk-produk ini sama tetapi masyarakat/konstituen memilih produk tertentu karena mendapatkan internalisasi yang berbeda atas image dari produk tersebut. Perbedaan-perbedaan atas pilihan terhadap produk-produk baik itu produk politik ataupun produk konsumeris dipengaruhi banyak sekali faktor-faktor dan latar belakang yang dimiliki oleh masyarakat/konstituen. Misalnya, seorang yang berasal dari kalangan santri tidak akan memilih produk sabun yang mengandung unsur lemak babi walaupun sewangi dan sebagus apapun produk sabun tersebut. Tetapi pilihan itu akan lain jika orang tersebut berlatarbelakang dari masyarakat yang sekuler atau liberal.
Kecermatan-kecermatan yang demikian inilah yang mengharuskan seorang calon kepala daerah, khususnya kandidat walikota surabaya, juga memiliki kecerdasan baik dalam hal kognisi maupun afektif. Karena menilik kasus Pilpres ternyata bahwa pertama, mesin partai politik tidak sepenuhnya mampu mengunci konstituennya untuk tetap memilih apa yang partainya pilih sebagai calon presiden. Kedua, jaringan patron-klien juga tidak mampu memobilisasi massa (basis konstituennya) untuk memilih calon yang dekat dengan elit jaringan tersebut. Ketiga, politik uang tidak berlaku sepenuhnya. Karena masyarakat yang didorong oleh pragmatismenya mempunyai prinsip bahwa “boleh saja diberi uang dari ‘calon A’ tetapi di bilik pemilihan siapa yang tahu bahwa yang dicoblos adalah ‘bukan calon A’”. Tulisan ini sekiranya memberikan sebuah acuan (pelajaran) bagi seluruh kandidat walikota yang akan bertarung memperebutkan kursi walikota Surabaya periode 2010-2015. Kursi walikota yang bukan hanya berisi kekuasaan semata melainkan tanggung jawab seorang pemimpin membawa masyarakat surabaya menuju ke pintu kesejahteraan. Hambatan-hambatan pemilihan walikota harus segera diantisipasi. Semoga.