Basis Tradisional versus Pencitraan dalam Pilwali Surabaya 2010

pencitraan
Semakin mendekati hari pelaksanaan Pilwali Surabaya tahun 2010, diskursus mengenai pembelahan masyarakat mungkin masih relevan untuk dibicarakan. Akan banyak manuver politik yang dilakukan elite politik agar memperoleh dukungan dari basis masyarakat berdasarkan iktan tradisional. Pendeknya, manuver itu mempertegas kecenderungan utama pembelahan masyarakat Indonesia.



Pembelahan masyarakat (Liddle, 1992) disebut sebagai Sungai Budaya; memang tidak pernah berhenti. Dia terus bergerak, deras dan lambat. Di dalam aliran itu, banyak aliran yang mengalir terpisah tetapi suatu saat mereka bertemu dan berpisah kembali. Perjalanan aliran sungai ini sering dihalangi oleh batu, pohon tumbang dan mungkin kerikil. Dia dikotori sekaligus mendapatkan limpahan air bersih dari sungai lain. ’Sungai Budaya’ adalah formulasi dinamis dan tentu saja sebuah percakapan dramatis dari masyarakat yang bergumul dalam budaya itu. Dengan metafora demikian, interpretasi mengenai pembelahan masyarakat Indonesia; khususnya masyarakat Surabaya menjelang pilwali bergerak secara dinamis dari waktu ke waktu.

Dalam sejarah, Soekarno (1964), misalnya, membelah masyarakat Indonesia menjadi tiga, yaitu, Nasionalis-Agama-Komunis (Nasakom). Dalam tataran politik praktis, kelompok Nasionalis diwakili oleh PNI, Agama oleh Masyumi dan NU sedangkan Komunis direpresentasi oleh PKI. Selanjutnya Geerz (1965) menyodorkan trikotomi Santri (PPP)-Abangan (PDI)-Priyayi (Golkar). Pada tahun 1970, Feith dan Castles menyodorkan pembagian yang lebih kompleks untuk Sungai Budaya tahun 1950-an, yaitu, nasionalisme radikal (PNI), tradisionalisme Jawa (PNI-PKI-NU), Islam (NU, Masyumi), sosialisme demokratis (PNI-Masyumi) dan komunisme (PKI). Mencoba mengikuti Feith dan Castles, Dhakidae (1999) membagi masyarakat ke dalam 4 kelompok, yaitu, kelompok Nasionalis (PDI-P), Pembangunan (Golkar), Agama (PBB) dan Sosialisme (PRD). Sedangkan Suryadinata (2002) mengkristalkan kembali pemikiran dan aliran politik yang ada ke dalam dua kategori besar, yaitu, Pancasila dan Islam Politik ( Political Islam).

Tetapi mengikuti dinamika masyarakat Surabaya saat ini, yang bisa diidentifikasi melalui figur-figur tokoh politik yang mendapatkan dukungan massa, tampak bahwa Sungai Budaya yang ada terbelah dalam dua aliran besar, yaitu, Nasionalis dan Islam. Karena itu, manuver yang mereka lakukan pun secara otomatis memusat pada kedua aliran tersebut. Hal ini bisa diidentifikasi dari tidak munculnya nama seorang tokoh pun dari aliran tersebut yang mendapatkan dukungan luas dari responden. Namun yang harus dicermati adalah fenomena gelombang tsunami Partai Demokrat yang sebetulnya tidak memiliki basis tradisional mampu mendobrak asumsi ’sungai budaya’ sejak tahun 2004 hingga kemenangan mutlak pemilu 2009 kemarin (pileg dan pilpres). banyak kalangan menganggap kemenangan partai demokrat tidak lain sosok dan figur SBY. Bagaimana pendapat anda, bagaimana gerak perilaku pemilih dalam pemilihan walikota (pilwali) Kota Surabaya mendatang? Masih relevankah ’sungai budaya’ dalam mencerminkan perilaku memilihnya?