Substansi Pilkada Langsung (pilkadal) dalam Pemilihan Walikota Surabaya 2010

PilkadalSecara normatif, pilkada langsung bukanlah semata-mata arena kontestasi kekuasaan, melainkan sebuah ruang yang terbuka bagi warga di aras lokal untuk memperoleh semacam pendidikan politik; training kepemimpinan politik dan sekaligus mempunyai posisi yang setara untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Dalam alur pemikiran semacam itu, para kandidat justru dituntut “bertarung” untuk membicarakan berbagai isu yang terjadi di daerahnya. Sehingga melalui perdebatan gagasan, ide dan program yang ditawarkan oleh para kandidat, warga di daerah bisa sekaligus belajar untuk mendengar, ikut berbicara dan akhirnya membuat keputusan politik.



Tema pilkada langsung seharusnya masih harus terus disuarakan agar substansi pemilihan secara langsung dapat konsekuen dilaksanakan oleh pemimpin yang terpilih. Surabaya sebagai pusat kekuasaan politik terbesar kedua di negeri ini akan segera melangsungkan agenda pilkada langsung yakni pemilihan walikota (pilwali) tahun 2010. Substansi pemilihan secara langsung hendaknya terus menerus kita ulas agar sosok pemimpin (walikota) merupakan wujud dari harapan masyarakat surabaya.

Apa yang seringkali diharapkan dan dicita-citakan tidak selalu sesuai dengan kenyataan. Boleh dikatakan harapan untuk menjadikan pilkada langsung sebagai ajang pendidikan politik warga, bisa diibaratkan sebuah keinginan “menggantang asap”. Mengapa disebut sebagai sebuah harapan yang sia-sia ? Pertama, dari pengalaman kota surabaya yang telah menyelesaikan prosesi pilkada langsung (pemilihan walikota) tahun 2005 lalu, kurang terdengar walikota yang berbicara secara lantang tentang isu-isu substantif di yang ada di Surabaya, seperti bagaimana mengatasi problematika kemiskinan, akses warga miskin pada pelayanan dasar, dan sebagainya. Isu-isu substantif kedaerahan justru tenggelam di tengah hiruk pikuk “janji surga” yang diwartakan oleh kandidat walikota yang bersaing. Bahkan, ada kecenderungan sebagian besar kandidat walikota justru berbicara soal bagaimana memperbesar “kue” ekonomi, melalui strategi pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan PAD (yang dalam istilah ekonomi disebut big push strategy) dibandingkan bagaimana membagi “kue” ekonomi yang lebih merata, terutama pada kelompok marginal.

Kedua, selain memberikan “janji surga”, para kandidat walikota pada saat pemilihan walikota (pilwali) 2005 yang lalu juga seringkali menggunakan politik simulakra (pencitraan), sehingga tidak aneh kemudian ketika mendekati masa-masa kampanye, para kandidat walikota sibuk “membungkus” dirinya dengan menebar pesona yang menarik simpati warga. Misalnya, membangun citra intekektual-dengan meluncurkan buku atau menjadi pembicara di kampus-kampus; citra dermawan dengan meningkatkan jumlah sumbangan ke warga di masa-masa menjelang pilwali; citra moralis-agamais; dengan mendatangi forum-forum pengajian atau citra populis; dengan membuka warung murah dan sebagainya.

Sudah sangat jelas, dari kedua model kampanye di atas, warga tidak memperoleh pendidikan politik untuk menjadi pemilih (voters) yang berkualitas dan kritis, melainkan justru ditempatkan sebagai pendukung-obyek politik yang siap dimobilisasi (supporter). Kalau hal itu memang terjadi maka tentu saja para kandidat walikota yang tengah bertarung dalam pemilihan walikota surabaya 2010 mendatang tidak akan pernah peduli dengan kemiskinan, pengangguran hingga segala bentuk problematika perkotaan surabaya. Hal ini terbukti masih tingginya angka jumlah keluarga miskin serta pengangguran di Surabaya. Belum lagi persoalan gizi yang kian hari mendera keluarga diperkampungan pelosok-pelosok surabaya.

Akhirnya, semua gejala penurunan kualitas hidup warga surabaya ini mengandung makna bahwa kita perlu memikirkan kembali berbagai prosesi demokrasi yang telah berlangsung selama lima tahun terakhir ini, yang ternyata tidak selalu berhubungan dengan perbaikan tingkat kesejahteraan warga daerah. Itu berarti perayaan pilkada langsung ; pemilihan walikota bisa jadi bermata dua; menjadi berkah untuk membangun tatanan governance di daerah yang lebih baik, namun juga sekaligus bisa sebagai musibah yang datang kembali untuk kesekian kalinya bagi kelompok-kelompok marginal.